Sabtu, 17 Januari 2009

(Kolom Sastra Budaya)


Sajakku
By : Zoly Diah Ayu GA
jika kelak anakku bertanya tentang cinta..
maka akan kujawab bahwa..
cinta adalah siul yang melengking curam
cinta adalah gemertak kerucut salju beku
cinta adalah dedaynan kering dilembab malam

cinta adalah manis , gurih ranjungan memekik mati
cinta adalah air mata dunia diatas batu
cinta adalah dua ekor burung malam yang menyanyikan duel..

begitulah cinta anakku...
karna itu lebih baik bagimu untuk tidak mengenalnya..


Euforia Masa

Oleh ; Eko Permana Putra GA (Eco Pepe)
Jalanan ini kian membunuh belulang,
Dan para belalang menyuruk merunduk mengukur kedalaman luka yang meng-onak.
Lalu kemana perginya setapak yang kemaren lusa dibeton para raja manusia tersebut?
Ada rumput-rumput yang belum di cabuti.
Dan Ada hidup yang belum sempat mati.
Lalu, esok simpangan mana lagi yang harus “kita” patahkan?

Padang, 5 Januari 2009


Asa
By : Fissa
Terucap kata mencabik jiwa
Menyayat pedih
Membumihanguskan semua tawa
Tanpa rasa yang tercipta,
Hanya pedih yang terasa,
Tanpa tawa terukir lagi

Jauh nun didalam sepi
Tersembunyi sedikit cahaya
Yang ntah kapan kan muncul,
Yang ntah kapan kan membuat tawa
Yang ntah kapan menghapus deraian air mata,
Yang hanya bersembunyi.
Takut akan dunia yang penuh akan kefanaan ini


KETIKA BANGSA INI BERMIMPI
Oleh : Dika Yulanda GA
Mereka duduk dan bilang,
kursi ini kepunyaan rakyat.
Mereka tersenyum penuh wibawa
dan berkata
aku cinta bangsa ini.
Mereka membuka mulut 
dan mulai berteriak pada dunia
bahwa suara mereka adalah 
suara jutaan penduduk negri yang 
akan mereka bawa bernyanyi.
Tapi ketika rakyat membuka mata di pagi hari..
Itu semua hanya mimpi.
Padang, juni 2008

CERPEN

Kereta Api Pagi Itu…!
Oleh : Rika Wahyuni GA

“Hari gini baru naik kereta api” ejekan teman-teman pada gue di sela-sela perkuliahan. Sebenarnya impian ini telah jauh hari ingin gue wujudkan. Cuman waktu aja yang belum pas.
Pagi yang cerah. Secerah baju merah yang membalut tubuh gue. Jam 8 lewat 5 menit gue telah terlibat dalam antrian karcis. Bukan antrian tepatnya, melainkan rebutan posisi dengan calon penumpang lain agar karcis tidak kehabisan. Suasana di stasiun kereta api terlihat seperti pasar pagi, biasalah ini adalah hari libur yaitu hari Minggu. 
Banyak pemandangan yang bisa dibaca di sini. Ada Ibu-ibu yang sibuk mengurusi anak-anaknya berlari ke sana dan ke mari, beberapa pasang remaja yang mecing dalam berpakaian, dan beberapa keluarga besar dengan bekal makanan dan tikar untuk bertamasya ke pantai, beberapa orang yang saling canda tawa seperti halnya gue dan Reni sahabat gue.
Ini bukan hari Minggu yang biasa bagi gue. Biasanya hari ini hanya Stay at Home di kampung gue dan sorenya balik ke kota Padang tercinta, tempat menimba Ilmu di Universitas termegah di Asia Tenggara. Ya.. begitulah gue sering menyebutnya bangga pada teman-teman Universitas lain.
***
  Gue masih berada diramainya antrian karcis pagi ini. Rebutan posisi, sikut sana dan sini. Disesaknya kerumunan tiba-tiba saja gue merasa dak-dik-duk. Ntah kenapa leher gue seakan memaksa wajah untuk menengok someone yang ada disebelah. Someone yang tak kalah semangatnya pula berebut posisi seperti halnya gue. Tanpa jeda yang lama, dia pun menatap kearah gue. Lama sekali tatapan itu. Seakan kami dua orang yang telah lama terpisah dan tiba-tiba bertemu. Dan mencoba mengingat siapa kamu?. Dan begitu pun aku?
 ”Anya” dia menyapaku. Aku membalas dengan senyuman termanis dipagi ini. Semanis mentari yang begitu cerah mengiringi langkah gue untuk ke stasiun kereta api.  
Oh..Pagi yang menyenangkan. Rasanya gue ingin antrian ini tak cepat berlalu. Perasaan terdalam gue mengatakan ”He is hansome today!”. Kesan pertama yang begitu menggoda. Meskipun barangkali dia tidak menggunakan parfum yang sering diiklankan ditelevisi swasta, tapi slogan itu melekat padanya. Sepertinya kalimat ini bukan kali pertama yang gue ucapkan kala bertemu dia di Fakultas. Tapi sayang pertemuan di Fakultas itu hanya begitu saja, saling menyapa, tersenyum dan tak lebih. 
Antrian telah berlalu, dua karcis telah berada ditangan gue. Untuk gue dan Reni. Mata gue masih mencari-cari sosok mata yang tadi memberikan kesan berbeda. Berbeda hingga melekat dihati seperti ditaburi bunga-bunga. Tumbuh wangi sekali.
 Dialah orang yang pertama menyapa gue dipagi ini dan dialah yang pertama membuat minggu ini “so sweet” ya begitu berlebihan. 
Kereta api berangkat pukul 09.25. Jam tangan ungu kesukaan gue jarumnya di posisi 08.30. Gue dan Reni duduk dekat rel kereta Api. Pastinya bukan rel kereta api yang sedang akan melintas. ‘Si rel’ lagi Free dan kami duduk berdua disana. Berbincang-bincang iseng, jepret sana dan sini dengan kamera ha-pe, dan tawa-tiwi yang tak lepas dari hari-hari kami. Tawa gue terhenti. Sosok yang dicari tadi gue temukan lagi. Ternyata dia mentap gue, tersenyum dan menghampiri gue. 
“Hai Anya, berangkat kereta kedua juga ya?” tanya Rey. ”Yup, Loe juga?” Spontan gue berdiri menanyakan hal yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Ya iyalah.. dia juga berangkat kereta api kedua, secara kereta api pertama baru saja membunyikan pluit dan pergi. Tapi ya..basa-basilah. 
”Loe sendiri?, ”ga tuh sama teman-teman” jawabnya sambil menunjuk kebelakang tepatnya kearah tiga orang cowok yang sama-sama kompak berseragam hitam. 
”Loe da acara apa?” lagi-lagi gue bertanya agar pertemuan ini tak cepat berlalu. ”cuman refreshing ke pantai”, ”Loe?” dia balik bertanya. ”gue…ya sama!ng..ng maksud gue kepantai juga” huh gue serasa balita yang baru belajar mengeja kata. Percakapan terhenti. Kereta akan segera berangkat. Gue dan Reni segera menaiki gerbong.
Ini adalah pengalaman pertama naik kereta api bagi gue. Otomatis gue masih clingak-clinguk. Mengikuti Reni dari belakang mencari tempat duduk yang nomornya sesuai dengan yang tertera di karcis. Reni duduk dan gue pun duduk. Selang beberapa menit seorang bapak-bapak mengatakan bahwa ini adalah tempat duduknya dia. Reni nglotot ini adalah tempat duduk kami juga 
“bapak salah karcis kale” Reni menunjukkan karcis. Si bapak akhirnya memperlihatkan juga karcisnya. Dikarcis itu juga tertera nomor 17. Ternyata si bapak betul. Kami berada di nomor yang benar, tapi gerbong yang salah. Kami tersenyum minta maaf dan berlalu.
***
  “Waduh laper ni Ren, beli kue yu!”. Seketika Reni memanggil bapak penjual kue, memilih beberapa bungkus kue yang terlihat enak apalagi bagi kami yang belum sarapan pagi alias kelaparan.
”hah 13.000?” gue mendengar sayup-sayup suara Reni yang jauh dibelakang ”ya udah pak 3 buah saja”. 
Dengan wajah kesal dan bibir sewot Reni menceritakan momen yang dia dapatkan dipagi ini. Lagi-lagi pagi ini kelabu (bagi Reni). Alhasil cerita yang dia sampaikan adalah menyedihkan meskipun kegembiraan akan hadir saat kue dimakan untuk pengganjal perut. 
“waduh 4000 per bungkus” Reni memperlihatkan kue-kuenya. “kalau yang jual bukan bapak tua gue ogah beli kue nich”. ”huh..sudahlah pren…!!gue menyobek bungkus kue dan melahabnya..
Perasaan dalam hati gue belum berubah meskipun baru saja kami kemalangan. salah tempat duduk belum lagi beli kue kemahalan. Sepasang mata gue lemparkan pada pemandangan dibalik jendela kereta. Fikiran gue kembali menjemput kejadian saat antrian tadi. Kenapa ini? Biasanya gue tidak terlalu mempedulikan dia, meski pun sering bertemu di Fakultas. 
Udara di kereta semakin panas. Gue menuju toilet belakang Gerbong 21. Saat keluar toilet aku berdiri terpaku, mataku kembali menatap sepasang mata di antrian tadi. Dan lebih menyenangkan lagi dia jua menatapku. Bunga-bunga kembali bertaburan dan wangi sekali. Gue tersenyum dan dia tersenyum. 
Dia membuntuti gue, dia menghampiri tempat duduk gue, dia bercanda, tertawa dan gue pun larut didalamnya. Ya.. tidak seperti dia yang kutemukan seringkali di koridor Fakultas Hukum, gedung A, B, C, atau gedung gedung yang lain yang biasa kami tempati untuk perkuliahan. Tersenyum dan berlalu dengan aktivitas masing-masing  
Pluit kereta api berbunyi dengan lengkingnya. Gue terbangun. Perjalanan yang melelahkan tapi gue senang. Senang dapat bertemu dia. Dia yang menyita perhatian gue dari tadi hingga sampai tujuan di Pariaman. Andai dia mengajak gue untuk sama-sama wekend, pasti gue akan mengagguk dan katakan Ya tanpa pikir panjang. Tapi itu hanya andai. Reni menarik tangan gue dan lagi-lagi terlibat antrian.
Gue terpaku dipintu keluar kereta. Sosok perempuan sebaya dengan gue menegurnya. Menegur dia yang sepanjang perjalanan ada dalam fikiran gue. Perempuan itu tersenyum manis. Dia pun membalas. Mereka berdua berlalu bergandeng tangan. Tak ada tiga orang teman yang berseragam hitam di stasiun kereta api pagi tadi….

Ilustrasi Oleh : Eko Permana Putra GA / Eco Pepe GA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar