Sabtu, 17 Januari 2009

ISI TABLOID GA EDISI XXX JANUARI_FEBRUARI 2009

(Kolom Opini)

Hilangnya Makna Hari Ibu (Hari Ibu Bukan Mother’s Day)


Tiap 22 Desember adalah tanggal yang dikenal di Indonesia sebagai peringatan hari Ibu. Perayaan yang sama juga dilakukan di Amerika, dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong. Mereka menyebutnya Mother’s Day, dirayakan pada hari Minggu pekan kedua bulan Mei. Di Eropa dan Timur Tengah, Mother’s Day diperingati setiap bulan Maret. 
Walaupun sekilas terlihat sama, tapi sebenarnya keduanya mempunyai pronsip dan misi yang sangat berbeda. Tradisi Mother’s Day ala Amerika Serikat atau Eropa mendedikasikan hari itu sebagai penghormatan terhadap jasa para ibu dalam merawat anak-anak dan suami serta mengurus rumah tangga. Dibebaskan dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.
Manifestasi Mother’s Day di negara tersebut kerap dinyatakan dengan mengirim kartu, memberikan bunga, menggantikan peran ibu di dapur, dan membelikan hadiah. Biasanya hadiah yang dipilih pun adalah benda yang mencerminkan “sifat keibuan”, seperti perlengkapan dapur yang cantik. 
Inti pemaknaan Mother’s Day macam ini adalah perayaan peran domestik perempuan sekaligus peneguhan posisi perempuan sebagai makhluk domestik. Domestifikasi perempuan yang mengawetkan bilik dapur, sumur, dan kasur sebagai domain kaum perempuan.(Yeni Rosa Damayanti dan Hary Prabowo: 2005).
Di indonesia, perayaan hari ibu juga banyak disalahartikan bahkan disamaartikan dengan perayaan mother’s day seperti membebastugaskan ibu-ibu dari tugasnya sehari-hari, suami yang lebih memanjakan istrinya, dan pemberian kado-kado dari anak- anak. Hal tersebut terjadi akibat kurang mengertinya akan makna dari peringatan hari ibu itu bahkan sengaja dilakukan oleh pihak tertentu untuk kepentingan komersialisasi dan industrilialisasi. 

Padahal, jika ditilik ke belakang, berdasarkan sejarah penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu di Indonesia mengandung makna perjuangan upaya perbaikan kualitas bangsa, bukan pembebas tugasan atau saatnya bersantai bagi perempuan indonesia. Dua puluh dua desember menandai turut andilnya perempuan Indonesia dalam memperjuangkan perbaikan nasib dan derajatnya.
Delapan puluh tahun berlalu dari pertama kali semangat kaum perempuan Indonesia bersatu untuk memeperjuangkan nasibnya dan bangsanya. Kini, semangat itu menjadi semakin pudar karena perayaan hari ibu atau hari perjuangan kaum perempuan kini dimaknai tidak lebih sebagai rutinitas belaka yang lebih dikedepankan adalah sekedar ceremonial konsumerisme, pemberian kado, pembebas tugasan ibu-ibu dari beban domestiknya atau bahkan ajang pamer kepedulian terhadap kaum ibu.
 Menurut Widyastuti Purbani: 2006, yang merancukan pemaknaan Hari Ibu adalah digunakannya kata "ibu", dan bukan "perempuan". Masalahnya, jika ditilik dari apa yang dilakukan para pejuang saat itu, titik sentral yang digarap adalah kaum perempuan secara umum, bukan sebatas kaum ibu. Jadi, menilik sejarahnya, mestinya bukan the state of being mother-nya yang diapresiasi, tetapi keperempuanan dan hebatnya semangat juang mereka.
 Penggunaan kata ibu ini pulalah yang tampaknya telah membuat pemaknaan Hari Ibu terseret ke arah pemaknaan Mother’s Day, yang lebih ditujukan untuk memberi puja-puji terhadap ke-ibu-an (motherhood) dan perannya sebagai "yang telah melahirkan dan menyusui", sebagai pengasuh anak, sumber kasih sayang, pemandu urusan domestik, dan pendamping suami.
 Padahal, makna lebih jauh yang dapat diambil dari perjuangan tahun 1928 itu, dimana perempuan Indonesia pertama kali tampil ke publik, berkongres menghimpun kekuatan bersama untuk pembebasan nasib kaum perempuan dari ketertinggalan dan ketertindasan. Bagaimana kaum perempuan Indonesia harus berperan untuk bangkit mengejar ketertinggalan, keterpurukan, menyuarakan kepentingan dan hak-hak kaumnya. 
 Meskipun kerajaan Belanda yang waktu itu menjajah Indonesia adalah suatu monarki yang dipimpin seorang perempuan, Ratu Yuliana, namun jamak dipahami bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki. Dalam laporan yang diterbitkan pada tahun 1998 terdapat 211.000 perempuan Belanda yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga (oleh suami maupun kekasih) dengan 50.000 orang diantaranya mengalami luka yang cukup serius, (1999 Country Reports on Human Rights Practices, Released by the Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, U.S. Department of State, February 25, 2000). 
 Oleh karenanya, bisa dimengerti bahwa pilihan Hari Ibu ketimbang Hari Perempuan dikedepankan karena lebih akomodatif. Pada beberapa negara di Eropa, diantaranya Swiss, bahkan jauh lebih parah lagi dimana perempuan baru bisa mendapatkan hak politik untuk berpartisipasi dalam pemilu pada dekade 70-an.
 Keadaan memprihatinkan dari kaum perempuan tersebut merupakan fenomena global yang terjadi di banyak negara di seluruh dunia. Oleh karenanya, patut kita ucapkan syukur pada para ibu dan nenek kita yang dengan gagah berani telah mendahului jamannya, melakukan Kongres Perempoean Indonesia pada 22-25 Desember 1928. Kongres yang merupakan efek domino dari Kongres Pemoeda Indonesia pada 28 Oktober 1928 tersebut berlangsung di Yogyakarta dengan agenda tunggal; merumuskan peranserta kaum perempuan untuk melahirkan negara Indonesia merdeka. Pada hari ketiga dalam Kongres itulah diputuskan bahwa setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.
Kini apapunlah nama dari peringatan 22 Desember itu, yang terpenting bagaimana kita memaknainya. Maraknya, perdagangan anak dan perempuan, tingginya angka kematian ibu melahirkan, kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagian kecil dari sekian banyak masalah yang harus dijadikan agenda utama perjuangan kaum perempuan Indonesia saat ini. Maka dari itu momen hari ibu ini harus kita kembalikan pada semangat awal yaitu saatnya perempuan berjuang. 

 Penulis : Merita Pahlevi GA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar