(Kolom Artikel)
Hilangnya Etika Mahasiswa
Mahasiswa, kaum yang diagungkan karena intelektualitas mereka. Mahasiswa mendapat posisi di atas dengan kepedulian dan kekuatan mereka yang mampu mewujudkan Indonesia baru, yang lebih demokratis, lebih berperikemanusiaan, dan bermartabat. Mereka pun diagung-agungkan karena hal itu.
Tetapi sayangnya, resesi juga nampaknya tengah menjalar di kalangan mahasiswa. Bukan saja karena mahasiswa yang minim prestasi dan terus kalah beretempur dengan komunitas sama dari belahan dunia lain. Tetapi resesi dan kemerosotan nilai moral dan etika yag seharusnya menjadi ciri kepribadian mahasiswa, kaum nan intelek.
Mahasiswa di zaman ini sama saja dengan preman kampung! Sebagian mungkin. Bertindak arogan dan bringas. Meronta, berteriak, menghasut, dan menghancurkan serta menginjak harkat dan martabat bangsa sendiri. Demonstrasi tidak lagi beretika, tidak afdol katanya jika tidak ada aksi bakar-bakaran dan pengrusakan, tidak menggigit mereka menyebut.
Para aktivis, mungkin benar sebagai pengemban tugas kemahasiswaan membela penuh program mahasiswa, membela penuh universitas, membela penuh fakultas, jurusan, ataupun membela penuh diri mereka sendiri, benar, bukan mungkin lagi, itu rasional
Tapi apakah benar semua itu dijadikan ajang untuk keeksisan diri dengan emosi yang menyala-nyala sehingga akhirnya merusak momen-momen yang penuh dengan nilai musyawarah? Momen yang seharusnya dijadikan sebagai ajang untuk tukar pikiran, berkoordinasi dan sarana untuk bertoleransi dan saling mengerti, justru tengah kritis karena dibakar emosi.
Suara lantang dengan aksen bentakan terkesan sangar dari badan kokoh para pria yang tegap, para pria yang menjadi pejabat fakulta, para pria penuh prestasi di kampus mahasiswa.
Belum lagi ketika kaum nan intelek itu, tidak peka akan lingkungan, terdekat mereka. Di angkot, bus, mereka lebih memilih menutup mata, dengan wanita tua dengan peluh sebiji jagung yang haus belas kasihan. Mereka enggan bertegur sapa, memilih pura-pura tidak melihat dan tidak kenal, pada dosen (orangtua) tidak populer di kampus mereka.
Juga tentang kaum intelek itu, yang minim tenggang rasanya, tentang kaum intelek itu, yang sibuk mempercantik diri sendiri, tentang mereka yang tidak peduli. Mengejar prestasi sendiri, enggan bersosialisasi, apalagi tuk sekedar berbagi.
Di dalam organisasi, sekelompok mahasiswa itu bisa ditakar etikanya. Entah karena pendidikan moral tidak lagi diperoleh masyarakat ini sejak tumbangnya rezim orde baru, entah karena orangtua terlalu sibuk sehingga tidak punya waktu menyuapi anak mereka tentang moral, tentang tenggang rasa itu.
Cara yang paling efektif untuk meningkatkan etika itu adalah dengan melatih kepekaan. Dengan membuat diri sendiri lebih peka terhadap perasaan orang lain, bertindak tidak hanya berdasarkan pendapat pribadi, sehingga dalam bertindak tidak akan melukai perasaan orang lain.
Dengan membiasakan bertindak setelah memikirkan perasaan orang lain dan tidak bertujuan untuk melukai perasaan orang tersebut tentunya. Kita akan secara sadar maupun tidak mencari pemecahan masalah yang bersifat win-win solution dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan banyak individu. Dan tentunya hal tersebut sangat dibutuhkan di dunia nyata.
Seperti wanita, mahasiswa pun penentu kemajuan dan kemerosotan bangsa, Bangsa yang tangguh ialah ketika semua elemen masyarakatnya, terutama mahasiswa bersatu, tidak lagi adu otot, tapi adu logika. Tidak lagi umbar suara, tapi umbar karya.
Penulis : Sagita Widuri GA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar