(Kolom Resensi)
Judul Buku : Si Pemburu 1
Penerbit : LKiS | Pustaka Sastra
Cetakan : Agustus 2008
Tebal : xvi + 414 Halaman
Harga : Rp 36.500,-
Bocah pemburu itu bernama Su. Kisah ini terjadi pada masa sekitar awal abad 20, ketika Belanda masih bercokol di Indonesia. Kakeknya yang keturunan senopati kerajaan Mataram melatihnya sejak ia berumur 5 tahun, sang kakek paham benar bahwa ia harus mempersiapkan si bocah menghadapi perang besar. Perang dalam arti beragam. Berperang secara fisik (melawan musuh bangsa) atau berperang dalam penguasaan pengetahuan modern juga berperang jangka pendek maupun jangka panjang. Bekal terbaik bagi si bocah adalah dengan mengajarinya kebiasaan nenek moyang. Kebudayaan kuno yang telah berakar diteruskan lagi. Dengan demikian, ia tidak akan pernah lupa jati dirinya dan darimana dia berasal.
Sebagai seorang pelajar, Su paham cara terbaik berjuang adalah melalui belajar sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita, dan sekolah kedokteran merupakan pilihan tepat, dan dari sini perjuangan sesungguhnya dimuali. Posisi-posisi strategis disekolah dan mengambil hati para pengajar Belanda seperti banyak dilakono pelajar pribumi tidak penting bagi su, yang krusial adalah bagaimana ia memperoleh banyak teman apalagi teman yang didapatkan sama-sama hobi berburu yang akan diajaknya berburu tiap akhir pekan. Kepiawaiannya mengangkat senjata dan berburu kelak akan dipergunakannya dalam perjuangan besar mempertahankan kemerdekaan (dalam Novel Sipemburu 2).
Dalam novel ini, diungkapkan berbagai Filosofi, yang paling menarik adalah bagaimana kita sebagai pemilik sah Indonesia, seharusnya menjadi Pemburu bukan yang diburu, yang masih terjadi hingga kini. Selain sarat akan filosofis karya Hario Kecik ini juga kaya akan fakta-fakta sejarah sehingga rekonstruksi faktual terasa kental dan mampu membawa Pembaca hanyut dalam alur cerita. Novel sejarah ini ditulis sebagai dedikasi penulis kepada ribuan rakyat Indonesia yang menyerahkan jiwa raganya dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah sepanjang sejarah pada abad-abad lalu. Khususnya untuk memperingati pengorbanan rakyat kampung-kampung Surabaya yang berjumlah kurang lebih dua puluh ribu yang secara heroik berkorban melawan penjajah dengan mengangkat senjata. Walaupun demikian, novel ini masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Peresensi : Cosma Putra Warera GA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar