Minggu, 18 Januari 2009

ISI TABLOID GA EDISI XXX JANUARI - FEBRUARI

(Artikel Utama)

Menepis Ketergantungan


Negara layaknya manusia memerlukan negara lain dalam memenuhi kebutuhannya. Hubungan antar negara ini menimbulkan saling ketergantungan antara satu dengan yang lain, di mana satu negara akan mengirim faktor produksi yang dihasilkannya pada negara lain. Sebaliknya negara lain juga melakukan hal yang sama. Interaksi ini bersifat saling melengkapi kepentingan masing-masing. 
Namun, karena setiap negara tingkat pertumbuhan ekonominya tidak sama, menyebabkan neraca saling ketergantungan menjadi tidak seimbang. Negara-negara maju biasanya lebih mendominasi dan berada pada posisi sentral yang membuat negara miskin dan berkembang bergantung pada mereka. Ketergantungan itu umumnya terletak pada faktor modal. Negara miskin dan berkembang yang berlimpah sumber daya alam yang sebenarnya dibutuhkan oleh negara maju, tetapi karena modal menjadi faktor utama, mereka bisa ditundukan oleh negara maju. 
Di sini berlaku teori dependensi, di mana seperangkat negara inti mengeksploitasi kekayaan sekelompok negara pinggiran yang lemah. Teori yang berlatar paham marxisme ini berawal dari penentangan terhadap kapitalisme negara Barat yang menguras habis kekayaan negeri jajahannya. Meskipun kolonialisme dan imperalisme telah dihapuskan tetapi dia berevolusi menjadi penjajahan gaya baru (neokolonialisme) berupa penguasaan ekonomi suatu negara.
Indonesia menjadi korban neokolonialisme itu. Berkedok investasi dan bantuan utang, negara Barat mengucurkan dananya bak sinterklas ke Indonesia. Bangsa yang lugu dan ramah ini menerima dengan tangan terbuka tanpa sadar ada udang di balik batu. Konon, di era Orde baru seorang menteri yang membawa pulang pencairan utang dari luar negeri disambut bak komandan yang baru pulang dari medan perang. Dan ketika krisis menggerogoti negara ini di tahun 1998, berhutang menjadi alternatif satu-satunya.  
Ketergantungan terhadap luar negeri ini agaknya telah menjadi budaya yang mengakar. Pemerintah seakan tidak yakin pada kemampuan anak negeri. Rasanya, tidak percaya diri bila membangun suatu proyek atau menjalankan sebuah program tanpa adanya bantuan asing. Dampaknya, di saat badan usaha milik negara (BUMN) asing go internasional, BUMN Indonesia seolah dikerdilkan di negeri sendiri. Pertamina menjadi contoh kentara pembongsaian itu. 
Perusahaan yang awalnya menjadi percontohan pendirian Petronas di negeri negeri jiran itu, tetap merugi sepanjang hayat lantaran tidak mendapat “kepercayaan” pemerintah. Ladang minyak dan gas lebih banyak dikelola asing ketimbang Pertamina. Padahal perusahaan plat merah itu telah mati-matian menyakinkan pemerintah mengenai kemampuan teknologi perminyakannya. Tidak heran jika Pertamina tidak mampu memberikan “hadiah “ pada republik ini seperti perusahaan minyak negeri jiran yang telah menghadiahkan Menara Petronas dan sirkuit Sepang pada Malaysia.
  Lama-lama rakyat juga mengikuti tren ketergantungan para pejabat negaranya pada luar negeri. Ranahnya pun tidak lagi bidang ekonomi semata tetapi merembet pada bidang sosial dan budaya. Masyarakat Indonesia lebih bangga menyantap makanan cepat saji ala Barat ketimbang bertandang ke warteg atau rumah makan Padang. Belum lagi mengenai pakaian dan gaya hidup yang disandarkan pada budaya Barat. Hal ini muncul akibat ketergantungan yang bermuara pada matinya potensi dan hilangnya kebanggaan pada apa yang kita punya. Padahal budaya mereka belum tentu lebih baik dari budaya yang kita punya. 
“Penyakit” kronis ini harus cepat ditangani. Sikap pemerintah yang menutup keran utang dengan membubarkan CGI dan membayar utang pada IMF memang langkah yang patut dihargai. Namun, ketergantungan pada modal asing sebaiknya juga diminimalisir dengan mendorong pengusaha dalam negeri berperan aktif menggerakan roda perekonomian.  
Setidaknya “tsunami” finansial yang terjadi di Amerika Serikat dapat dijadikan pelajaran betapa rapuhnya perekonomian suatu negara akibat bergantung pada negara lain. Dampak dari krisis itu telah terasa di berbagai negara termasuk Indonesia. Pelemahan nilai tukar rupiah dan rontoknya indeks harga saham gabungan (IHSG) yang pernah mencapai level 2300 dan sekarang tidak beranjak pada posisi 1200 menjadi salah satu warning krisis ekonomi telah bertandang ke Indonesia. Bila tidak disikapi dengan cermat, bukan tidak mungkin krisis seperti tahun 1998 bisa terulang kembali. Tentunya, kita berharap langkah yang diambil tidak dengan membuat utang baru lagi. 
  Disamping itu, perbaikan regulasi dalam pembuatan perjanjian pada penanaman modal asing serta mempercepat transfer teknologi perusahaan swasta asing di Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada pihak luar. Selama ini transfer teknologi di Indonesia berjalan lambat. Ambil contoh Korea Selatan. Di tahun 1970, negara itu bersama Indonesia sama-sama belajar perakitan mobil. Melalui transfer tekonologi yang relatif cepat, sekarang negeri ginseng itu telah mampu memproduksi mobil, sedangkan Indonesia baru sebatas merakit perlengkapan mobil seperi kursi dan ban mobil. 
Akhirnya, kita berharap mampu menjadi bangsa yang mandiri. Bangsa yang mengantungkan cita-citanya pada anak negeri bukan pada kapitalisme modern. Agaknya, bangsa ini harus mengingat kembali petuah Bung Karno tentang trilogi pembangunan, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadiaan yang berkebudayaan.

Penulis : Rahmat Fajri (Alumni Fakultas Hukum Unand)


SINTESIS TENTANG DEMOKRASI BAGI MAHASISWA

Bersamaan dengan runtuhnya tembok kekuasaan rezim Orde Baru, sejak munculnya gelombang aspirasi ke arah reformasi menyeluruh dalam kehidupan kenegaraan kita, berkembang pula wacana yang mendorong pemikiran ke arah penerapan sistem pemilihan Presiden,dan Legislatif secara langsung. Aspirasi yang tumbuh dan berkembang menuntut dilakukannya pemilihan Presiden dan Legislatif secara langsung itu, pada hakikatnya, memperjuangkan aspirasi agar rakyat yang berdaulat benar-benar dapat menggunakan haknya untuk memilih sendiri siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil-wakilnya di DPR dan DPD.Dilihat dari sepenggal tulisan Jimly Asshiddiqie diatas maka dapat kita artikulasikan bahwa tunutan rakyat Indonesia sejalan dengan gaung Demokrasi yang digaungkan dunia saat ini.Tuntutan yang transparantif, dimana rakyat ingin langsung berkenalan dengan calon pemimpinnya dengan mengenal latar belakang dan moralnya.Disis lain Rakyat sudah mempersiapkan diri keterbukaan akses sebagai pemilih dan siap dipilih.Hal inilah yang dirasakan bangsa Indonesia saat ini dalam mengimplementasikan Demokrasi secara kaffah ,dimana Rakyat merasakan sebagai pemilih dan dipilih.
Apabila kita bawa kepada scope khusus yaitu mahasiswa sebagai bagian rakyat Indonesia,maka timbullah sintetis yang menyatakan bahwa mahasiswa tidak hanya pemilih atau dipilih tetapi juga sebagai pengawas atau pengawal Demokrasi terutama pada PEMILU atau PILKADA sebagai Instrumennya.Oleh karenanya secara sadar kita simpulkan bahwa Mahasiswa tidak hanya sebagai obyek demokrasi tetapi juga sebagai sasaran tembak atau subjek Demokrasi.Namun kesadaran yang kita bangun saat ini buyar dan terbang bagai debu dikarenakan ketidak pahaman serta penempatan Demokrasi yang tidak disesuaikan dengan Kultural berfikir bangsa Indonesia.Masih banyak Mahasiswa yang tidak mengerti akan partisipasi politiknya dalam PEMILU dan PILKADA dengan tidak ikut serta memilih dan apriori terhadap partai politik sebagai sarana bagi seseorang yang mencalonkan dirinya.Sungguh naïf rasanya,dikala Mahasiswa sebagai kaum Intelektual dan iron stock yang mengerti bahwa demokrasi adalah salah satu jalan untuk merubah bangsa ini tidak ambil peduli dengan agenda-agenda Demokrasi.Demokrasi saat ini tidak lebih daripada simbol belaka.Disaat kita ingin bersuara bebas kita atasnamakan Demokrasi,disaat kita menuntut transparansi dana kepada pihak Rektorat kita ikut sertakan Demokrasi.Banyak yang tidak paham dengan perbuatannya,dimana kata kuncinya adalah disaat berkata harus berbuat,disaat kita katakan inilah Demokrasi maka kita harus siap berbuat dan menanggung akibat dari apa yang telah kita katakana tadi.
Seyogyanya kita telah bersepakat bahwa saat ini Demokrasi adalah salah satu sarana Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi yang masih berjalan direl yang tidak berujung.Gerakan mahasiswa bersiap-siap untuk berpartisipasi dalam menyambut gegap gempita kedatangan pemilu 2009 yang ternyata sudah diambang pintu. Sebagaimana kita ketahui beberapa tahun belakangan (2005-2008), dimana pola dan format gerakan mahasiswa Indonesia lebih cenderung ke arah intellectual movement (gerakan intelektual).Keterlibatan mahasiswa terutama sebagai pelaku voter eduation (pencerdasan terhadap pemilih) dan pengontrol pemilu 2009 adalah suatu kemestian sebagai salah satu wujud moral force (gerakan moral). Meminjam cerita Arif Budiman (eksponen gerakan mahasiswa 1974), gerakan mahasiswa laksana koboi Shane—dalam sebuah film—datang ke suatu kota kecil yang penuh dengan bandit-bandit kejam, lalu menghabisi mereka tetapi menolak untuk dinobatkan sebagai sherif di kota tersebut. Makna perumpamaan ini, gerakan mahasiswa tidak boleh pamrih—harus gerakan tulus—dengan kekuasaan dan tidak boleh memiliki vested interests.disisi lain Hariman siregar dalam bukunya pilar-pilar Demokrasi menyatakan bahwa Mahasiswa hari ini harus memikirkan dan ikut dalam gerakan politik selain memenuhi persyaratan menjalankan gerakan sosial dan moral.
Dari pernyataan diatas dapat kita hasilkan analisa bahwa sebagai agent of change dan Iron Stock, Mahasiswa harus memikirkan Gerakan Politik sebagai gerakan yang efektif mewujudkan cita-cita besar Resormasi menjadikan Rakyat Indonesia makmur dan sentosa.Hal ini diluar kontek politik Praktis yang notabene membuat pergerakan Mahasiswa menjadi kerdil dikarenakan tidak profesionalnya dalam mengelola dan menempatkan diri sebagai orang-orang Demokrasi.Sudah saatnya para Reformis yang mempunyai konsep membangun peradaban Bangsa ini kearah konstruksi Intelektual dan Moral mencoba masuk kedalam Sistem yang Bobrok dan kemudian mengubahnya sesuai selera kebenaran.Sudah saatnya kita harus membuang pesimistis dan Nostalgia kemerdekaan Indonesia di zaman baheula.Sudah saatnya kita mengambil alih kekuasaan Generasi lalu yang meninggalkan noktah-noktah hitam dan berdarah dihati setiap anak bangsa karena menanggung malu dan dibebani hutang Negara yang tidak pernah ia lakukan, karena ia baru lahir hari ini.Oleh karenanya persiapkan diri secara fisik,fikiran dan sipiritual untuk mengubah bangsa ini karena tanpa persiapan,mustahil kita akan mewujudkan Visi dan Misi kebenaran.Ingatlah Mahasiswa hari ini adalah penerus perjuangan di Era Reformasi yang belum usai!!!

Penulis : Azmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar